Sunday, February 27, 2011

“Eka Susilawati Dan Fenomena Estetika Sastranya”


Oleh: Rahmat Jabaril


Tajug soal yang terungkap pada perjalanan W.S RENDRA (alm), barang tentu tidak sebatas kata estetik pada karya-karyanya. Jauh dari pengungkapannya, Rendra (alm) menelusuri proses-proses inspirasinya pada sentuhan pemahaman hidup di luar dirinya. Kata-kata yang terlahir adalah titik temu dari proses dialektika lotalism. Kehadiranyang di munculkan representasi nilai antara hidup dan kehidupannya. Jauh seperti gerbangnya membuka kelangit-langit tak dikenal (Eka susilawati). Dalam pencapaian-pencapaian estetikanya, Rendra (alm) tak segan-segan memunculkan raganya dalam keumuran orang-orang yang menuntut rasa keadilanya. Bagi Rendra (alm) kata-kata adalah sajak kehidupanya. Bisa dikatakan itu bukan reproduksi, tetapi adalah tanpa batas. Penolakan pada batas sastra dan kedirian kehidupanya. Soal itulah yang di tangkap oleh Eka Susilawati pada salah satu puisi dari kumpulan puisi  “wanita berpayung senja” puisi tersebut adalah : “jalan Rendra”, ketika Eka menangkap orasi  budaya dari Rahmat Jabaril (penulis) pada pembukaan pameran seni rupa mengenang seratus hari wafatnya W.S Rendra. Di gedung yayasan pusat kebudayaan Bandung pada tanggal 25 oktober 2009.

Tentu tidaklah mudah menangkap jauh dan dalamnya suatu persoalan, jika sang penyair atau seniman tidak punya kepekaan pada kekuatan dirinya. Karya sastra tidak bisa lahir begitu saja, seperti halnya keindahan dalam alam tidak di rencanakan terlebih dahulu. Karena alasan itu saja keindahan tidak dapat seindah keindahaan dengan seni yang sengaja di ciptakan (N.G Chernyshevsky). Pada itulah Eka Susilawati mampu menempatkan dirinya menjadi ruang kosong dan proaktif dalam menangkap persoalan diluar dirinya. Seperti keindahan yang menegaskan posisinya berada diperasaan yang jembar karena kesadaran pada ruang dialekttika diri dan diluar dirinya. Pencapaian itulah sepertinya tak semudah setiap orang bisa menyentuhnya.

Eka Susilawati menelusuri jauh akan hidup menuju batas akhir ragawi Rendra. Dimana sudah menjadi kepastian setiap manusia akan berakhir dengan kematian. Namun Eka menemukan Rendra (alm) yang ditulisnya “ sukma meraung dalam termerung/meteran tak lagi terhitung. Raga memang terkubur, namun Rendra (alm) masih meniupkan suara-suara kesaksiannya tentang penderitaan sesamanya. Ditanah merah yang menguburnya, Rendara sendiri, namun kata-katanya masih menampar para penguasa yang serakah, dan membangunkan semangat daya melawan kaum tertindas. Eka berusaha menciptakan kebenaran, dengan fenomena-fenomena estetika teksnya. Dia berusaha ingin mempertegas apa yang di tangkapnya sebagai obyek kebenaran yang di tempatkan sebagai obyek yang utuh dia menempatkan hakekat manusia sebagai kodrati kebenaran manusia. Tidak sepakat dengan eksploitasi manusia oleh manusia ( L” exploitation de I’homme par I’homme) (Sartre).
Penempatan persoalan dengan presfektifnya, itulah yang terlihat pada tulisan-tulisan Eka. Penempatan yang utuh dengan keindahan sebagai perjalanan rasa estetikanya. Penelusuran yang sikologis filosofis itulah yang membuat karya Eka penuh dengan ruang-ruang kontemplatif. Ruang-ruang jendela penuh permenungan. Banyak kata yang tiba-tiba memohok membuat pembaca mengulangi pengulangan bacanya. Pada tulisan Eka tampak lebih menekankan pada subtansi tema yang berbicara, maka pembaca akan dibawa pada imajinasi dari kebenaran yang di gulirkannya. Misalnya pada tulisan “kenangan” pada subtansi ini kata mentari tidak sebagai simbol yang diam. Kata tersebut di ungkapkan sebagai titik pijak pembuka kenangannya. Dia berani melakukan pemikiran silogisme pada logika logis. Kata kaki itu pasti digunakan sebagai alat pijak, namun mentari tidak begitu kuat digunakan sebagai alat pijak. Tapi pada Eka kedudukan itu tidak terlalu di pentingkan yang terpenting baginya bagaimana puisi memiliki ketajaman intensitasnya. Eka tidak mau terjebak dengan forma-forma kasat mata. Pada itulah dia mencoba menghidupkan tema sebagai titik pikirannya. Sementara peminjaman kata benda sebagai alat kontruksi dalam prespektif pikiran dan rasa keindahannya.

Kata-kata yang terlahir dai kumpulan puisinya  Eka, banyak mempertegas dimana, dan dengan siapa. Pada situasi apa yang dijadikan obyek tulisannya. Namun pengalaman itu dibungkusnya dengan kemasan kemilau, dan jiwa sajaknya mengendus seolah setiap persoalan masuk pada timbunan estetiknya. Rumahku dari unggun-timbun sajak/ kaca jernih dari luar segala nampak (Chairil Anwar) adalah hal yang sama dimiliki Eka, dan hal ini menunjukan sepatutnya Eka memeliharanya dengan baik. Hal yang menyatu dari timbunan sajak tersebut, maka tidaklah aneh buat Eka, akan mengalirkan fenomena-fenomena yang membuat pembaca tulisannya terbangun imajinasinya. Adalah menjadi harapan buat saya sebagai pencinta kesusastraan, bermunculan wajah-wajah baru yang kreatif dan konsisten. Semoga dengan kemunculan Eka Susilawati dalam kancah kesusastraan Indonesia memberikan pencerahan baru, dan barang tentu Eka harus terus belajar lebih jauh, dalam dan tingginya pengetahuan hidup kesusastraan.
Salam kebudayaan




 
Salam Kemajuan  Kebudyaan dan Peradaban Indonesia
* ) Aktivisme, Seniman  dan budayawan “Gerbong Bawah Tanah Nusantara”





Tuesday, February 8, 2011

JALAN RENDRA


(Deskripsi: Rahmat Jabaril pada suatu pidato)

Ini jalanku, dinda
Kado handai tolan
Melulu mendramatiskan
Kepergianku
Gerbangnya membuka ke langit-langit tak dikenal
(Semilir angin dari tubuhnya mulai menyapa akrab)

Ini jalanku, dinda
Kado handai tolan
Akan pergiku
Sepertiga tubuhnku dibuatkan monument
Dengan barisan gemerincing lonceng dari kuil para dewa
(harum bunga kemboja mengitari suara-suara doa)

Ini jalanku, dinda
Jaraknya panjang
Dibenahi ranjang
Bagi orang-orang malang dan telanjang
Wajahku pucat pasi terpajang disini

Ini jalanku, dinda
Kado handai tolan
Untuk mayatku yang berbaring
Jalanan sunyi hilang penghuni
Sesiapa tak usah mengayun kaki
Dari ujung sana sampai ini berdiriku
Meteran tak lagi menampakkan angkanya
(ku cium harum Kesturi menggugah gairah indra
Matanya berseri bunga cempaka)

Ini jalanku, dinda
Kado handai tolan
Untuk membasuh jenazahku: berbaring
Orang-orang berhenti
Menjala rindu dari tiap sisi
Sukma meraung dalam termenung
Meteran tak lagi berhitung
(Ku cium harum Kesturi dari kesuma hati
Langit menahan senyumnya, tatapnya pengantin
Bunga melati)

Ini jalanku, dinda
Kado handai tolan
Untuk kasih mereka padaku
Aspalnya kertas
Jejak sepatu kulit buaya
Jadi sajakku selanjutnya
(ku cium harum Kesturi, bibirnya mekar
Bunga mawar)

Ini jalanku, dinda
Kado sepi
Jaraknya dipadati kaki lima
Menjajakan tarian jemari mereka
Ini jalan basa –basi
Untuk seni kita
Sebelum  kembali diakui tetangga
Saat aku menjadi tiada
(Dan angin hamper berhenti menebar aroma wangi: Kesturi)

Inilah jalanku, dinda
Kado handai tolan sebuah kota
Saat kuburanku segera selesai ditata
Namanya: JALAN RENDRA
Tanpa kendara mereka bermuara
(Bunga-bunga serempak gugur, harumnya tak hilang jua)
Ini jalanku, dinda
Kado mati
Jika ingin berjalan di jalan ini
Hentakkan kaki seirama nadi
Kini senjaku sudah turun
Jalanku usai dibangun
Seterusnya
Aku ingin tidur
(Wajahnya berseri, Wangi Kesturi)

Bandung Mengenang Rendra
2 November 2009


BERBURU KALBU : Drs.Wawan Wardiawan


Rupanya kau terlibat jauh
Pada nasibku yang celaka

Dari kawanan itu
Bulan-bulan aman
Berlalu tanpa ciuman
(di rumah istrimu merebus susu
tanpa bosan)

Ketika aku masuk
Pada rerusukmu
Kaupun mengerang
Menahan nafas kencang

Kemudian kau  lebih sering menatap
Coklat mataku
Mengelus tipis rambutku
Dan kau rapatkan bibir selapismu
Tepat di telinga kiriku
Berbisik:
“aku diam di bukit cinta yang tandus”
Nafasku mengerang panjang
(di rumah istrimu merebus susu
Tanpa bosan)

Rupanya kau benar-benar terjerat
Pada surat wajahku
Kau tatap coklat mataku
Dalam

Di ruang belakang
Mobilmu yang purba
Catnya biru muda
Kau terus bermain mata
Sopir sibuk berkendara

Rupanya kau benar-benar terjerat
Pada sirat wajahku
Kau tatap coklat mataku
Mengelus tipis rambutku
Dan kau rapatkan bibir selapismu
Tepat di telinga kiriku

Berbisik:
“aku diam di bukit cinta yang tandus”
Nafasmu mendengus

Bulan disarang malam
Wajahnya liar dan hitam
Kau diantaranya mabuk
Tapi tak ku cium anggur
dari mulutmu yang ngantuk

Rupanya kau terlibat jauh
Pada nasibku yang celaka
Dan kau bilang
 “aku cinta”
Kau tulis namaku
pada dinding-dinding
kebosanan

menung wajahku
seperti sastrawan
yang sajaknya
dikembalikan
(di rumah istrimu merebus susu
Tanpa bosan)

Pintu biru ku buka
Tanganku tak kau lepas pula
(Di rumah anak-anakmu mengentri susu, ibu…ibu…)

“selamat tinggal ayah”
(di rumah istirimu menunggu
Wangi parfummu tertinggal di bajuku
Kekasihku cemburu)


November 2009

BENCANA AIDS


Berkendara Anjing gila
Menembus lebat hutan
Merobek tubuh bulan
Berlikur darah mendidih dikantong badan

Ku panah langit tanpa warna
Mata menyala ke segala cuaca

Majulah mengapung darahku
Tujuh pucuk pedang, menuding-melingkar

Ku panggil banjir
Majulah

Ku panggil gempa
Majulah

Ku panggil badai
Majulah

Ku panggil api
Majulah

 
ku panggil tsunami
Runtuhlah kau segala pada kotoran darahku
karna ku tahu tubuhku di kepung celaka

inilah aku si anjing gila
ber telanjang dada
menunggang bola api
menembus hutan rimba
padat lebah tengah bernyanyi

majulah
human immudecienci virus

darahku mendengung
mencari ARV

majulah,ku tahu sudah bencana mencekik darah
tubuhku baja menggeliat dendam pada tuba yang tiba
perih luka membuat asing pada manusia
kau kira aku akan mati?
Oleh stigma itu –ini

Ku panah stigma
Anak panah pucuknya api
Odha bukan bahasa putus asa

Aku
Manusia

Baleendah 5-10 januari 2010
 

DI TENDA PENGUNGSIAN


Di tenda-tenda pengungsian kata darurat
Diperjual-belikan
Aku mendengar tangisan bayi kedinginan
Angin menambah kedalaman perut yang kelaparan
Suara-suara hanyut terbawa arus
Terendam kali mati
Dan dahaga di tawan hujan
Aku berlari sepanjang kali mencermati gejala sakti
Dari luapnya alam tersakiti
Oh, angin mengantarkan luka
Dari sungai kepala
Membenturi wajah-wajah manusia
Dan di alas jidatmu ku tempelkan sebilah kaca
Seperti air sungai yang jernih menyalin rupa
Lihatlah: darimana sumber gejala tiba
Menjadi petaka?

26 Februari 2010


TOTAL TAYANGAN HALAMAN SAYA

HAK CIPTA 2011 EKA SUSILAWATI. Powered by Blogger.

EKA SUSILAWATI

EKA SUSILAWATI

BIOGRAPHY SAYA

Eka Susilawati, lahir di bandung pada tanggal 2 maret 1989. Mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung ini mulai menulis memasuki bangku SMP. Karya-karyanya begitu akrab dikalangan anak sekolahan.

Puisi-puisinya pernah dimuat di majalah sastra nasional Horison, Seni Budaya (terjemahan), Lembah Biru, dll. Puisi-puisinya tergabung pula pada antologi bersama: Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia 2009, Antologi puisi pribadi: Wanita Berpayung Senja. Buku lain: Malaikat Di Ruang Tamu merupakan antologi cerpen Eka Susilawati yang pertama.

Wanita muda ini kerap tampil di hadapan publik, selain menulis dan membacakan puisinya, beberapa kejuaraan menulis dan membaca puisi pernah disandangnya, dia pula aktif dalam organisasi-organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan di lingkungannya.

Beberapa prestasi yang disandangnya: juara 1 Lomba baca puisi tingkat Kab.Bandung pada PORSENI SMP 2004. Juara 3 lomba baca puisi tingkat Provinsi Jawa Barat 2004. Juara 1 lomba baca puisi se-Kotamadya Bandung+Cimahi 2005. Pernah diundang sebagai juri lomba baca puisi penyair pada PESTA PENYAIR INDONESIA DI MEDAN. Juri lomba cipta puisi pada Olimpiade puisi smp se- kota Medan. Narasumber pada acara Bincang Sastra di PESTA BUKU JAWA BARAT 2009.

Salam Sastra dan Budaya



Alamat kontak e-mail dan facebook saya: EKASTAMAHARANI@YAHOO.CO.ID/EKASTAMAHARANI@GMAIL.COM

Translate

TENTANG SAYA

My photo
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
BERUSAHA UNTUK BISA MEMBERIKAN KONTRIBUSI YANG BERARTI BAGI DUNIA PENDIDIKAN, SENI, DAN KEBUDAYAAN.