Oleh: Rahmat Jabaril
Tajug soal yang terungkap pada perjalanan W.S RENDRA
(alm), barang tentu tidak sebatas kata estetik pada karya-karyanya. Jauh dari
pengungkapannya, Rendra (alm) menelusuri proses-proses inspirasinya pada
sentuhan pemahaman hidup di luar dirinya. Kata-kata yang terlahir adalah titik
temu dari proses dialektika lotalism. Kehadiranyang di munculkan representasi
nilai antara hidup dan kehidupannya. Jauh seperti gerbangnya membuka
kelangit-langit tak dikenal (Eka susilawati). Dalam pencapaian-pencapaian
estetikanya, Rendra (alm) tak segan-segan memunculkan raganya dalam keumuran
orang-orang yang menuntut rasa keadilanya. Bagi Rendra (alm) kata-kata adalah
sajak kehidupanya. Bisa dikatakan itu bukan reproduksi, tetapi adalah tanpa
batas. Penolakan pada batas sastra dan kedirian kehidupanya. Soal itulah yang
di tangkap oleh Eka Susilawati pada salah satu puisi dari kumpulan puisi “wanita berpayung senja” puisi tersebut
adalah : “jalan Rendra”, ketika Eka menangkap orasi budaya dari Rahmat Jabaril (penulis) pada pembukaan
pameran seni rupa mengenang seratus hari wafatnya W.S Rendra. Di gedung yayasan
pusat kebudayaan Bandung pada tanggal 25 oktober 2009.
Tentu tidaklah mudah menangkap jauh dan dalamnya suatu
persoalan, jika sang penyair atau seniman tidak punya kepekaan pada kekuatan
dirinya. Karya sastra tidak bisa lahir begitu saja, seperti halnya keindahan
dalam alam tidak di rencanakan terlebih dahulu. Karena alasan itu saja
keindahan tidak dapat seindah keindahaan dengan seni yang sengaja di ciptakan
(N.G Chernyshevsky). Pada itulah Eka Susilawati mampu menempatkan dirinya
menjadi ruang kosong dan proaktif dalam menangkap persoalan diluar dirinya.
Seperti keindahan yang menegaskan posisinya berada diperasaan yang jembar
karena kesadaran pada ruang dialekttika diri dan diluar dirinya. Pencapaian
itulah sepertinya tak semudah setiap orang bisa menyentuhnya.
Eka Susilawati menelusuri jauh akan hidup menuju batas
akhir ragawi Rendra. Dimana sudah menjadi kepastian setiap manusia akan
berakhir dengan kematian. Namun Eka menemukan Rendra (alm) yang ditulisnya “
sukma meraung dalam termerung/meteran tak lagi terhitung. Raga memang terkubur,
namun Rendra (alm) masih meniupkan suara-suara kesaksiannya tentang penderitaan
sesamanya. Ditanah merah yang menguburnya, Rendara sendiri, namun kata-katanya
masih menampar para penguasa yang serakah, dan membangunkan semangat daya
melawan kaum tertindas. Eka berusaha menciptakan kebenaran, dengan
fenomena-fenomena estetika teksnya. Dia berusaha ingin mempertegas apa yang di
tangkapnya sebagai obyek kebenaran yang di tempatkan sebagai obyek yang utuh
dia menempatkan hakekat manusia sebagai kodrati kebenaran manusia. Tidak
sepakat dengan eksploitasi manusia oleh manusia ( L” exploitation de I’homme
par I’homme) (Sartre).
Penempatan persoalan dengan presfektifnya, itulah yang
terlihat pada tulisan-tulisan Eka. Penempatan yang utuh dengan keindahan
sebagai perjalanan rasa estetikanya. Penelusuran yang sikologis filosofis
itulah yang membuat karya Eka penuh dengan ruang-ruang kontemplatif.
Ruang-ruang jendela penuh permenungan. Banyak kata yang tiba-tiba memohok
membuat pembaca mengulangi pengulangan bacanya. Pada tulisan Eka tampak lebih
menekankan pada subtansi tema yang berbicara, maka pembaca akan dibawa pada
imajinasi dari kebenaran yang di gulirkannya. Misalnya pada tulisan “kenangan”
pada subtansi ini kata mentari tidak sebagai simbol yang diam. Kata tersebut di
ungkapkan sebagai titik pijak pembuka kenangannya. Dia berani melakukan
pemikiran silogisme pada logika logis. Kata kaki itu pasti digunakan sebagai
alat pijak, namun mentari tidak begitu kuat digunakan sebagai alat pijak. Tapi
pada Eka kedudukan itu tidak terlalu di pentingkan yang terpenting baginya
bagaimana puisi memiliki ketajaman intensitasnya. Eka tidak mau terjebak dengan
forma-forma kasat mata. Pada itulah dia mencoba menghidupkan tema sebagai titik
pikirannya. Sementara peminjaman kata benda sebagai alat kontruksi dalam
prespektif pikiran dan rasa keindahannya.
Kata-kata yang terlahir dai kumpulan puisinya Eka, banyak mempertegas dimana, dan dengan
siapa. Pada situasi apa yang dijadikan obyek tulisannya. Namun pengalaman itu
dibungkusnya dengan kemasan kemilau, dan jiwa sajaknya mengendus seolah setiap
persoalan masuk pada timbunan estetiknya. Rumahku dari unggun-timbun sajak/
kaca jernih dari luar segala nampak (Chairil Anwar) adalah hal yang sama
dimiliki Eka, dan hal ini menunjukan sepatutnya Eka memeliharanya dengan baik.
Hal yang menyatu dari timbunan sajak tersebut, maka tidaklah aneh buat Eka,
akan mengalirkan fenomena-fenomena yang membuat pembaca tulisannya terbangun
imajinasinya. Adalah menjadi harapan buat saya sebagai pencinta kesusastraan,
bermunculan wajah-wajah baru yang kreatif dan konsisten. Semoga dengan
kemunculan Eka Susilawati dalam kancah kesusastraan Indonesia memberikan
pencerahan baru, dan barang tentu Eka harus terus belajar lebih jauh, dalam dan
tingginya pengetahuan hidup kesusastraan.
Salam kebudayaan
Salam Kemajuan Kebudyaan dan Peradaban Indonesia
* ) Aktivisme, Seniman dan budayawan
“Gerbong Bawah Tanah Nusantara”
0 comments:
Post a Comment